CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Monday, October 18, 2010

Merawat pasien dengan STEMI......... "Rehabilitasi pasien dengan STEMI"


Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang, hal ini bisa disebabkan oleh adanya penyempitan kritis arteri koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli/trombus atau adanya penurunan aliran darah (Smeltzer & Bare, 1996). Pasien dengan MI biasanya merasakan nyeri dada yang tiba-tiba dan berlangsung terus menerus, terletak di bagian bawah sternum dan perut atas. Nyeri yang tajam dan berat bisa menyebar ke bahu dan lengan biasanya ke kiri. Tidak seperti angina, nyeri ini muncul secara spontan (bukan setelah bekerja berat atau gangguan emosi dan menetap selama beberapa jam sampai beberapa hari dan tidak akan hilang dengan istirahat maupun nitrogliserin. Pada beberapa kasus nyeri bisa menjalar ke dada dan leher. Nyeri sering disertai dengan napas pendek, pucat, berkeringat dingin, pusing dan kepala ringan dan mual serta muntah. Pasien dengan DM mungkin tidak merasa nyeri berat bila tenderita infark miokardium, karena neuropati yang menyertai diabetes mempengaruhi neuroreseptor seingga menumpulkan nyeri yang dialami.

Pada kasus pasien dengan iskemi, cedera, dan infark, terjadi perubahan pada gelombang T, segmen ST, dan gelombang Q pada pemeriksaan EKG Pasien. Tiga area tersebut bisa tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi bertahap. Yang pertama adalah area yang terluar, yaitu area iskemi dan biasanya yang pertama kali berubah. Gelombang T biasanya melengkung ke bawah karena kekurangan oksigen dan potasium akibat dari adanya kerusakan di sel otot jantung. Normalnya, gelombang T ke atas, lebih besar dari gelombang P dan asimetris. Perubahan yang terjadi berikutnya adalah elevasi segmen ST, yaitu segmen ST biasanya isoelektrik dan tingginya lebih besar dari 1mm. Elevasi segmen ST ini mengindikasikan adanya prolonged, severe injury pada sel miokardium. Segmen ST dapat berelevasi begitu tinggi yang kemudian menyebabkan gelombang T tidak terlihat sampai beberapa hari. Adanya elevasi segmen ST mengindikasikan adanya cedera akut. Disinilah intervensi harus dilakukan. Jika ada gelombang Q tanpa adanya elevasi pada gelombang ST, maka infark tidak akut. Perubahan terakhir yang terjadi adalah pada gelombang Q. Secara bersamaan, gelombang T yang melengkung ke bawah, elevasi segmen ST, dan adanya gelombang Q merupakan tanda-tanda terjadinya nekrosis miokardium yang irreversible. Gelombang Q harus lebih besar dari 0,04 sekon pada lebarnya dan lebih besar 25% tinggi dari gelombang R untuk terjadinya perubahan patologis. Adanya perubahan EKG juga menunjukkan area infark,
 


  • Anteroseptal : V1, V2, V3, V4
  • Anterior : V1–V4
  • Anterolateral : V4–V6, I, aVL
  • Lateral : I and aVL
  • Inferior : II, III, and aVF
  • Inferolateral : II, III, aVF, and V5 and V6


Pada EKG pasien dengan MI akan memiliki tiga perubahan pada II, III, AVf. Dinding inferior MI disebabkan oleh adanya pemblokkan pada Arteri koroner dekstra. pasien yang menderita inferior MI memiliki blok jantung karena arteri koroner dekstra memberikan suplai pada nodus sinoatrial dan antrioventrikular dengan presentase yang besar.

Rehabilitasi Pasien dengan MI
Rehabilitasi merupakan komponen dari manajemen personal dan profesional yang esensial, yang dalam kasus ini adalah rehabilitasi Pasien dengan MI. Tujuan rehabilitasi bagi pasien dengan MI adalah mengembangkan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Tujuan jangka pendeknya adalah mengembalikan sesegera mungkin ke gaya hidup normal atau mendekati normal. Tujuan tersebut hanya bisa dicapai dengna mendorong aktivitas fisik dan penyesuaian fisik, memberi pendidikan kepada pasien maupun keluarganya dan memulai penyuluhan psikososial dan bimbingan bila diperlukan.
Ada beberapa rekomendasi untuk merencanakan rehabilitasi pada pasien dengan IM (Black & Hawks, 2005):
  1. Pola diet kardioprotektif
  2. Anjuran untuk diet secara intensif, pemeriksaan persetujuan (compliance checks), dan tindak lanjut jangka panjang sebaiknya diberikan.
  3. Merekomendasikan suplemen nutrisional seperti vitamin antioksidan, dan mineral untuk mencegah penyakit kardiovaskular
  4. Suplemen ikan dan minyak ikan dapat menurunkan risiko kematian jantung mendadak
  5. Untuk pasien dengan berat badan berlebih dan obesitas dengan CHD, kombinasi antara diet rendah energi dan peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan
  6. Tujuan awal terapi penurunan berat badan sebaiknya membuat berat badan pasien menurun 10%
  7. Semua pasien dengan penyakit kardiovaskular sebaiknya berhenti merokok dan harus didukung untuk terus berhenti merokok sebagai penilaian utama.
  8. Semua pasien dengan CHD memiliki farmakoterapi standar dengan aspirin, beta-bloker, ACE inhibitor, dan statin jika tidak ada kontraindikasi.
  9. Rehabilitasi jantung yang komprehensif harus berada di dalam manajemen kasus.

Fase-fase Rehabilitasi Jantung. 
Fase I, dimulai segera setelah terjadi episode akut penyakit, biasanya pada saat pasien masih di unit perawatan jantung. Setelah episode akut, biasanya pasien akan bed rest kurang dari 24 jam jika tidak ada komplikasi seperti gagal jantung atau perkembangan disritmia. Meskipun miokardium harus diistirahatkan, bed rest membuat pasien memiliki risiko hipovolemia, hipoksemia, atropi otot, dan pulmonary emboli. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dicegah . Jika pasien nausea, berikan diet cairan sampai nausea berkurang. Perawat atau fisioterapi harus memulai latihan pasif. Seiring dengan peningkatan kekuatan pasien, biarkan pasien untuk duduk di sisi tempat tidur dan mengayunkan kakinya selama beberapa saat. Ambulasi pasien ke kursi di sisi tempat tidur selama 15-20 menit setelah hari pertama jika pasien dapat mengayunkan kaki tanpa ada nyeri dada, disritmia, atau hipotensi. Saat pasien dipindahkan dari unit perawatan jantung ke unit umum atau intermediet, kebebasan penggunaan kamar mandi dan aktivitas perawatan diri dibutuhkan. Wireless heart monitoring (telemetri) dapat dilanjutkan. Izinkan pasien untuk berjalan-jalan selama beberapa saat dengan supervision di koridor. Jarak tempuh dan durasi pada jalan-jalan ini meningkat secara progresif.

pasien kehilangan 10% sampai 15% otot skeletal dan kekuatan kontraktilitas selama minggu pertama tirah baring dan 20% sampai 25% setelah mengalami tirah baring selama 3 minggu. Pasien harus meningkatkan aktivitasnya untuk mencegah kerja jantung berlebih saat memompakan darah yang berisi oksigen ke otot. Metabolic Equivalent Test (MET) adalah cara untuk mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam melakukan aktivitas: 1MET=3.5 ml O2/kg/min. Mobilisasi awal setelah MI tidak boleh lebih dari 1-2 MET seperti bercukur dan makan. Kaji denyut nadi, tekanan darah, level lelah seiring dengan peningkatan level aktivitas pasien. Bantu pasien untuk mencegah kelelahan. Selama fase 1, pendidikan kesehatan yang harus diberikan meliputi anatomi jantung, risiko faktor fisiologi dan manajemen CHD, konseling kebiasaan, dan aktivitas di rumah.

Fase 2, terjadi menjelang pemulangan pasien, selama tahap kedua ini perawat dapat membantu pasien ke arah pencapaian tujuan untuk hidup mandiri, meskipun masih dalam tirah baring ketat. Fase ini dicapai dengan mengarahkan pikiran pasien ke masa dimana ia akan dapat aktif kembali. Tujuan disini bukan merubah gaya hidup pasien secara total, tetapi mendorong penyesuaian yang diperlukan. Sebaiknya hindari perhatian terhadap hal-hal yang tidak bisa dilakukan pasien, melainkan dorong pencapaian jangka pendek dan jangka panjang berdasar kebutuhan masing-masing individu. Perjalanan penyakit perlu dijelaskan, jawab semua pertanyaan dengan Jujur, dan beri keyakinan kepada pasien bahwa kebanyakan orang mampu beraktivitas kembali setelah MI. Pendekatan yang positif ini akan membantu pasien agar tidak mengalami defek jantung. Melanjutkan aktivitas seksual paska MI merupakan hal yang paling sulit. Kegiatan tersebut biasanya boleh dilanjutkan 4-8 bulan setelah MI. Pasien harus dapat melakukan aktivitas naik-turun tangga sebelum melanjutkan aktivitas seksualnya. Pasien juga tidak boleh makan atau minum yang mengandung alkohol sebelum aktivitas seksual. Anjurkan Pasien untuk berhenti merokok, anjurkan pasien untuk sering berjalan-jalan. Selama fase kedua, pasien melakukan latihan otot selama 20-30 menit selama 3-4 kali per minggu dengan dimonitor oleh cardiac rehabilitation staff. Beberapa pasien dapat kembali bekerja saat minggu ke 8 atau ke 9 jika asimtomatik. Antara minggu ke delapan dank e sepuluh, pasien dianjurkan untuk melengkapi pemeriksaan fisik, meliputi EKG, exercise stress tests, analisa lipid, pemeriksaan x-ray dada. Tenaga kesehatan harus memastikan hawa masalah kesehatan yang berkontribusi dalam perkembangan CHD sudah tidak ada (hipertensi, anemia, hipertiroid).

Fase 3, dimulai saat pasien pulang ke rumah dan berlangsung selama masa pemulihan, dimulai dari bulan ke 4 sampai bulan ke 6. Tujuan fase 3 adalah mengembalikan aktivitas pasien pada tingkat yang memungkinkannya bekerja atau kembali ke aktivitas yang biasa dilakukan sebelum terjadi penyakit. Fase ini biasanya dilakukan dengan mendaftarkan pasien pada suau program rehabilitasi formal yang mengawasi peningkatan aktivitas pasien. Kebanyakan program seperti ini menjadwalkan pertemuan pada pagi hari, sore hari atau malam sehingga pasien yang telah kembali bekerja dapat menyusun jadwal partemuan sesuai aktivitas harian mereka.

Fase 4, difokuskan pada penyesuaian jangka panjang ada pada pemeliharaan stabilitas kardiovaskuler. Pada fase ini pasien biasanya sudah mampu mengatur diri sendiri dan tidak memerlukan program pengawasan. Tujuan tiap tahap ditentukan dan didasarkan pada pencapaian tahap sebelumnya.
Sepanjangan seluruh tahap rehabilitasi, tujuan aktivitas dan toleransi latihan dicapai melalui penyesuaian fisik, yang dilakukan untuk memperbaiki efisiensi jantung dan tekanan darah yang rendah, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen dan beban kerja jantung. Penyesuaian fisik terjadi pada fase I dimulai dengan latihan rentang gerak lengan. fase 2 mencakup duduk di kursi, berjalan, dan naik tangga. fase 3 dapat mencakup jalan lebih cepat, akhirnya fase 4 berupa joging. Penyesuaian fisik hanya boleh dilakukan dibawah pengawasan dokter. Pasien diobservasi selama aktivitas terhadap nyeri dada, dispnu, kelemahan, kelelahan, dan peningkatan frekuensi jantung yang melebihi frekuensi ambang. Bila muncul salah satu gejala tersebut, pasien harus diperingatkan untuk segera mengentikan aktivitasnya dan menghubungi dokter.


Daftar Pustaka
  • Black, Joyce M.; Hawks, Jane Hokanson. (2005). Medical surgical nursing: Clinical management for positive outcomes volume 2. (7th Ed). St. Louis: Elsevier Saunders.
  • Chernecky, Cyntia; et. al. (2006). Saunders nursing survival guide: ECGs & the heart. St. Louis: Elsevier Saunders.
  • Smetzer, Suzanne C.; Bare, Brenda G. (1996). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth volume 2. (Edisi 8). Jakarta: EGC. (Alih bahasa: dr. H.Y. Kuncara, Monica Ester, S. Kp, dr. Andry Hartono, DAN & Yasmin Asih

No comments:

Post a Comment